Triwulan II-2025, Siap-siap Rupiah Cetak Titik Keseimbangan Baru – Kompas.id

Pelemahan rupiah diperkirakan terus berlanjut pada triwulan II-2025 hingga mencapai titik keseimbangan baru. Namun, masih terbuka ruang penguatan rupiah ke depan.
Triwulan II-2025, Siap-siap Rupiah Cetak Titik Keseimbangan Baru
Ekonomi
Oleh Agustinus Yoga Primantoro
22 Apr 2025 19:22 WIB · Ekonomi
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan mencapai titik keseimbangan baru dalam kisaran Rp 16.400-Rp 16.500 per dollar AS. Kondisi tersebut mencerminkan ketahanan eksternal Indonesia yang semakin rentan dan kian rapuh menghadapi gejolak global.
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada perdagangan Selasa (22/4/2025) ditutup di level Rp 16.862 per dollar AS atau melemah 3,93 persen secara tahunan. Dalam sepekan terakhir, rupiah cenderung bergerak stabil dalam kisaran Rp 16.800 per dollar AS.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan, nilai tukar rupiah yang terus melemah perlahan akan mencapai titik keseimbangan baru. Pelemahan rupiah yang terjadi belakangan terutama disebabkan oleh kondisi global.
”Pada triwulan II-2025, kemungkinan pergerakan rupiah akan berada di titik keseimbangan baru dalam  kisaran Rp 16.400-Rp 16.500 per dollar AS,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Berkaca dari tahun lalu, nilai tukar rupiah mencapai titik pelemahan terdalamnya pada triwulan II. Data Jisdor menunjukkan, rerata rupiah selama triwulan II-2024 mencapai Rp 16.138,87 per dollar AS atau melemah 3,03 persen dibandingkan triwulan I-2024 yang Rp 15.663,71 per dollar AS.
Selanjutnya, rupiah berbalik menguat pada triwulan III-2024 dengan rata-rata Rp 15.800,66 per dollar AS dan pada triwulan IV-2024 mencapai Rp 15.796,51 per dollar AS. Secara keseluruhan, hanya pada triwulan II rupiah berada di atas rata-rata pergerakan selama 2024 yang sebesar Rp 15.849,92 per dollar AS.
Ciri-ciri ekonomi yang menguat itu mata uangnya seharusnya semakin kuat, ketahanan eksternalnya semakin tinggi. Kurs kita terus-menerus turun. Belum pernah rupiah kembali ke ekuilibrium Rp 10.000 atau Rp 12.000 per dollar AS, artinya turun secara konsisten. Ini yang perlu diwaspadai, apakah ingin terus seperti itu?
Telisa menambahkan, pergerakan nilai tukar rupiah selama bertahun-tahun memang terus melemah. Kondisi tersebut mencerminkan fundamental perekonomian domestik yang kian terkikis sehingga patut diwaspadai.
”Ciri-ciri ekonomi yang menguat itu mata uangnya seharusnya semakin kuat, ketahanan eksternalnya semakin tinggi. Kurs kita terus-menerus turun. Belum pernah rupiah kembali ke ekuilibrium Rp 10.000 atau Rp 12.000 per dollar AS, artinya turun secara konsisten. Ini yang perlu diwaspadai, apakah ingin terus seperti itu?” ujarnya.
Di sisi lain, nilai tukar yang terus menguat atau berada di atas nilai fundamentalnya (overvalue) juga tidak baik bagi perekonomian. Sebaliknya, nilai tukar yang terlampau sering berada di bawah nilai fundamentalnya (undervalue) justru menggambarkan ketahanan eksternal yang rentan.
Menurut Telisa, rentannya ketahanan eksternal domestik juga mengakibatkan neraca pembayaran Indonesia terbatas. Kondisi tersebut yang pada gilirannya juga mengantarkan perekonomian Indonesia tumbuh tidak lebih dari 5 persen.
Senada, Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalita Situmorang, mengatakan, nilai tukar rupiah masih akan menghadapi tekanan cukup besar pada triwulan II-2025. Meski sempat menguat dalam beberapa hari terakhir seiring pelemahan dollar AS yang dipicu ketegangan antara Presiden AS Donald Trump dan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), penguatan rupiah bersifat sementara.
”Di sisi domestik, tekanan musiman meningkat, terutama dari pembayaran dividen besar oleh sektor perbankan, serta jatuh tempo DNDF, yang mendorong permintaan valas korporasi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Ia menjelaskan, sejak awal tahun nilai tukar rupiah telah melemah, dari rata-rata Rp 16.358 per dollar AS pada triwulan I-2025 ke kisaran Rp 16.800 per dollar AS. Jika tekanan terus berlanjut dan intervensi Bank Indonesia (BI) tidak cukup kuat, rupiah berisiko kembali ke titik tertingginya pada Rp 16.970 per dollar AS pada 9 April 2025 lalu.
Kendati demikian, masih terbuka ruang penguatan pada paruh kedua 2025, seiring dengan upaya BI dalam menjaga stabilitas. Penguatan rupiah juga akan didorong oleh mulai redanya tekanan musiman terkait permintaan dollar AS dan potensi pelonggaran suku bunga The Fed per Juni 2025.
”Ke depan, arah rupiah akan sangat dipengaruhi oleh dinamika global, termasuk tensi dagang AS, arah kebijakan moneter utama, serta efektivitas penyerapan valas dari DHE SDA (Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam). Dalam skenario optimististis, kami perkirakan rupiah dapat kembali menguat secara bertahap ke kisaran Rp 16.600-Rp 16.700 per dollar AS pada triwulan III-2025,” ujar Hosianna.
Sementara itu, Frederic Neumann, Kepala Ekonom Asia di HSBC, memperkirakan, pasar keuangan Indonesia dan nilai tukar rupiah dapat kembali bergerak stabil, kemungkinan pada paruh kedua 2025. Ini bergantung pada kejelasan terkait kebijakan dan kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan AS.
Rupiah yang melemah tidak selalu berarti buruk bagi perekonomian. Bahkan, daripada memberlakukan tarif terhadap impor China, kita bisa membiarkan kurs melakukan fungsi perlindungan bagi Indonesia. Jika nilainya terus melemah, kurs rupiah akan bertindak seperti quasi-tariff.
Menurut dia, volatilitas pasar yang terus terjadi lebih disebabkan oleh ketidakpastian global. Namun, kondisi tersebut dinilai tidak terlalu mengkhawatirkan, mengingat fundamental ekonomi Indonesia masih kuat, dengan tingkat inflasi yang terjaga rendah.
”Rupiah yang melemah tidak selalu berarti buruk bagi perekonomian. Bahkan, daripada memberlakukan tarif terhadap impor China, kita bisa membiarkan kurs melakukan fungsi perlindungan bagi Indonesia. Jika nilainya terus melemah, kurs rupiah akan bertindak seperti quasi-tariff,” katanya saat ditemui di Jakarta.
Di sisi lain, memori krisis keuangan yang pernah melanda Asia memang telah menciptakan pandangan bahwa rupiah tidak boleh terdepresiasi. Namun, Indonesia sedang dalam posisi yang kuat sehingga pelemahan nilai tukar secara bertahap relatif tidak menimbulkan masalah besar bagi perekonomian.
Menurut Neumann, tidak ada masalah keuangan yang tengah dihadapi Indonesia sama seperti saat krisis keuangan global. Dengan demikian, depresiasi rupiah tidak akan terlalu merugikan, mengingat tingkat inflasi domestik masih sangat rendah.
”BI sangat baik dalam mengelola volatilitas dan membantu menstabilkan ekspektasi. Namun, menurut saya, nilai tukar yang melemah tidak selalu berarti buruk bagi Indonesia. Lalu, apa yang akan terjadi? Saya pikir, saat ini, ada banyak ketidakpastian,” ujarnya.
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan mencapai titik keseimbangan baru dalam kisaran Rp 16.400-Rp 16.500 per dollar AS. Kondisi tersebut mencerminkan ketahanan eksternal Indonesia yang semakin rentan dan kian rapuh menghadapi gejolak global.
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada perdagangan Selasa (22/4/2025) ditutup di level Rp 16.862 per dollar AS atau melemah 3,93 persen secara tahunan. Dalam sepekan terakhir, rupiah cenderung bergerak stabil dalam kisaran Rp 16.800 per dollar AS.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan, nilai tukar rupiah yang terus melemah perlahan akan mencapai titik keseimbangan baru. Pelemahan rupiah yang terjadi belakangan terutama disebabkan oleh kondisi global.
”Pada triwulan II-2025, kemungkinan pergerakan rupiah akan berada di titik keseimbangan baru dalam  kisaran Rp 16.400-Rp 16.500 per dollar AS,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Berkaca dari tahun lalu, nilai tukar rupiah mencapai titik pelemahan terdalamnya pada triwulan II. Data Jisdor menunjukkan, rerata rupiah selama triwulan II-2024 mencapai Rp 16.138,87 per dollar AS atau melemah 3,03 persen dibandingkan triwulan I-2024 yang Rp 15.663,71 per dollar AS.
Selanjutnya, rupiah berbalik menguat pada triwulan III-2024 dengan rata-rata Rp 15.800,66 per dollar AS dan pada triwulan IV-2024 mencapai Rp 15.796,51 per dollar AS. Secara keseluruhan, hanya pada triwulan II rupiah berada di atas rata-rata pergerakan selama 2024 yang sebesar Rp 15.849,92 per dollar AS.
Ciri-ciri ekonomi yang menguat itu mata uangnya seharusnya semakin kuat, ketahanan eksternalnya semakin tinggi. Kurs kita terus-menerus turun. Belum pernah rupiah kembali ke ekuilibrium Rp 10.000 atau Rp 12.000 per dollar AS, artinya turun secara konsisten. Ini yang perlu diwaspadai, apakah ingin terus seperti itu?
Telisa menambahkan, pergerakan nilai tukar rupiah selama bertahun-tahun memang terus melemah. Kondisi tersebut mencerminkan fundamental perekonomian domestik yang kian terkikis sehingga patut diwaspadai.
”Ciri-ciri ekonomi yang menguat itu mata uangnya seharusnya semakin kuat, ketahanan eksternalnya semakin tinggi. Kurs kita terus-menerus turun. Belum pernah rupiah kembali ke ekuilibrium Rp 10.000 atau Rp 12.000 per dollar AS, artinya turun secara konsisten. Ini yang perlu diwaspadai, apakah ingin terus seperti itu?” ujarnya.
Di sisi lain, nilai tukar yang terus menguat atau berada di atas nilai fundamentalnya (overvalue) juga tidak baik bagi perekonomian. Sebaliknya, nilai tukar yang terlampau sering berada di bawah nilai fundamentalnya (undervalue) justru menggambarkan ketahanan eksternal yang rentan.
Menurut Telisa, rentannya ketahanan eksternal domestik juga mengakibatkan neraca pembayaran Indonesia terbatas. Kondisi tersebut yang pada gilirannya juga mengantarkan perekonomian Indonesia tumbuh tidak lebih dari 5 persen.
Senada, Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalita Situmorang, mengatakan, nilai tukar rupiah masih akan menghadapi tekanan cukup besar pada triwulan II-2025. Meski sempat menguat dalam beberapa hari terakhir seiring pelemahan dollar AS yang dipicu ketegangan antara Presiden AS Donald Trump dan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), penguatan rupiah bersifat sementara.
”Di sisi domestik, tekanan musiman meningkat, terutama dari pembayaran dividen besar oleh sektor perbankan, serta jatuh tempo DNDF, yang mendorong permintaan valas korporasi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Ia menjelaskan, sejak awal tahun nilai tukar rupiah telah melemah, dari rata-rata Rp 16.358 per dollar AS pada triwulan I-2025 ke kisaran Rp 16.800 per dollar AS. Jika tekanan terus berlanjut dan intervensi Bank Indonesia (BI) tidak cukup kuat, rupiah berisiko kembali ke titik tertingginya pada Rp 16.970 per dollar AS pada 9 April 2025 lalu.
Kendati demikian, masih terbuka ruang penguatan pada paruh kedua 2025, seiring dengan upaya BI dalam menjaga stabilitas. Penguatan rupiah juga akan didorong oleh mulai redanya tekanan musiman terkait permintaan dollar AS dan potensi pelonggaran suku bunga The Fed per Juni 2025.
”Ke depan, arah rupiah akan sangat dipengaruhi oleh dinamika global, termasuk tensi dagang AS, arah kebijakan moneter utama, serta efektivitas penyerapan valas dari DHE SDA (Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam). Dalam skenario optimististis, kami perkirakan rupiah dapat kembali menguat secara bertahap ke kisaran Rp 16.600-Rp 16.700 per dollar AS pada triwulan III-2025,” ujar Hosianna.
Sementara itu, Frederic Neumann, Kepala Ekonom Asia di HSBC, memperkirakan, pasar keuangan Indonesia dan nilai tukar rupiah dapat kembali bergerak stabil, kemungkinan pada paruh kedua 2025. Ini bergantung pada kejelasan terkait kebijakan dan kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan AS.
Rupiah yang melemah tidak selalu berarti buruk bagi perekonomian. Bahkan, daripada memberlakukan tarif terhadap impor China, kita bisa membiarkan kurs melakukan fungsi perlindungan bagi Indonesia. Jika nilainya terus melemah, kurs rupiah akan bertindak seperti quasi-tariff.
Menurut dia, volatilitas pasar yang terus terjadi lebih disebabkan oleh ketidakpastian global. Namun, kondisi tersebut dinilai tidak terlalu mengkhawatirkan, mengingat fundamental ekonomi Indonesia masih kuat, dengan tingkat inflasi yang terjaga rendah.
”Rupiah yang melemah tidak selalu berarti buruk bagi perekonomian. Bahkan, daripada memberlakukan tarif terhadap impor China, kita bisa membiarkan kurs melakukan fungsi perlindungan bagi Indonesia. Jika nilainya terus melemah, kurs rupiah akan bertindak seperti quasi-tariff,” katanya saat ditemui di Jakarta.
Di sisi lain, memori krisis keuangan yang pernah melanda Asia memang telah menciptakan pandangan bahwa rupiah tidak boleh terdepresiasi. Namun, Indonesia sedang dalam posisi yang kuat sehingga pelemahan nilai tukar secara bertahap relatif tidak menimbulkan masalah besar bagi perekonomian.
Menurut Neumann, tidak ada masalah keuangan yang tengah dihadapi Indonesia sama seperti saat krisis keuangan global. Dengan demikian, depresiasi rupiah tidak akan terlalu merugikan, mengingat tingkat inflasi domestik masih sangat rendah.
”BI sangat baik dalam mengelola volatilitas dan membantu menstabilkan ekspektasi. Namun, menurut saya, nilai tukar yang melemah tidak selalu berarti buruk bagi Indonesia. Lalu, apa yang akan terjadi? Saya pikir, saat ini, ada banyak ketidakpastian,” ujarnya.

source

Leave a Reply

This will close in 0 seconds