Bagaimana Indonesia Menghadapi Hambatan Implementasi GDPR dan DAM di Tengah Dinamika Lokal?
Di tengah ketatnya arus global menuju tata kelola data digital yang lebih disiplin, Indonesia telah dihadapkan dengan tantangan yang cukup besar. Bagaimana negara ini bisa menyesuaikan diri dengan regulasi internasional seperti General Data Protection Regulation (GDPR) dan Digital Markets Act (DMA), tanpa melupakan karakteristik lokal yang unik?
Mulai terasa berat untuk mengadopsi prinsip perlindungan data, terutama untuk mempertahankan integritas digital di era sekarang. Proses penyesuaian ini bukan perkara yang mudah.
Diperlukan strategi yang fleksibel, inovasi kebijakan, dan keberanian untuk dapat membangun ekosistem yang tidak hanya sekedar meniru saja, tetapi juga benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia saat ini. Kawan GNFI, kita akan membahas mengenai bagaimana Indonesia menghadapi hambatan implementasi GDPR dan DMA di tengah dinamika lokal?
General Data Protection Regulation (GDPR) merupakan salah satu standar dalam perlindungan data pribadi milik Uni Eropa yang diberlakukan pada tahun 2018. Regulasi ini mengatur secara ketat bagaimana data seseorang dikumpulkan, disimpan, dan juga diproses dengan satu tujuan utama yaitu mengembalikan kendali data sepenuhnya ke tangan pemiliknya.
Melalui GDPR, di kenal sebuah istilah right to be forgotten yang artinya adalah setiap individu berhak mengetahui data apa yang akan dikumpulkan, untuk tujuan apa digunakan, hingga meminta penghapusan data mereka sendiri.
Di sini GDPR juga mewajibkan sebuah perusahaan dan juga organisasi untuk dapat bersikap transparan, bertanggung jawab, dan juga dapat membangun sistem keamanan data yang lebih kuat.
Dari laporan European Commission tahun 2023, GDPR kini telah menjadi landasan global, terutama karena mekanisme sanksi yang tegas, di mana pelanggar ini bisa dikenai denda hingga 4% dari omset tahunan mereka.
Pada tahun 2023, Digital Markets Act (DMA), hadir sebagai upaya untuk mengendalikan perusahaan teknologi raksasa seperti, Google, Amazone, Apple, dan Meta. Regulasi ini dibuat untuk menciptakan persaingan yang lebih adil di pasar digital.
Hal ini juga sekaligus dapat membatasi praktik bisnis yang dianggap dapat merugikan konsumen dan juga pelaku usaha kecil. DMA pun bisa dikatakan mampu membuka peluang bagi perusahaan startup dan pelaku usaha kecil agar bisa bersaing dengan lebih sehat di dunia digital ini.
Kehadiran DMA disini bertujuan untuk menciptakan pasar digital yang lebih sehat dan adil dengan mengatur bagaimana platform besar sedang beroperasi. Ada beberapa aturan kunci dalam DMA antara lain:
Kesimpulannya, GDPR berfokus pada perlindungan data pribadi seseorang, sedangkan DMA berfokus pada mengatur persaingan yang lebih sehat dan adil di pasar digital.
Ketidaksamaan antara kerangka hukum nasional dan aturan internasional menjadi kendala utama yang dihadapi Indonesia saat mengadopsi regulasi seperti GDPR dan DMA. Meskipun pada tahun 2022 Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), masih terlihat beberapa kekurangan jika dibandingkan dengan standar ketat yang diterapkan GDPR.
UU PDP belum sepenuhnya mengakomodasi hak individu yang lebih luas, seperti hak untuk dilupakan (right to be forgotten), yang menjadi pilar penting dalam GDPR.
Laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tahun 2023 menunjukkan bahwa meskipun UU PDP bertujuan untuk meningkatkan perlindungan data pribadi, namun masih banyak sektor di Indonesia yang belum siap untuk membangun mekanisme perlindungan data yang memadai.
Belum semua perusahaan memiliki sistem transparansi pengelolaan data seperti yang diharuskan dalam standar Eropa. Di sisi lain, tantangan dalam penegakan hukum dan penyusunan sanksi yang tegas turut memperumit situasi. Tanpa regulasi yang lebih jelas dan juga harmonis, jalan menuju penerapan prinsip GDPR dan DMA di Indonesia masih akan penuh hambatan.
Selain dari tantangan hukum, beban ekonomi juga menjadi salah satu isu besar dalam upaya menerapkan regulasi seperti GDPR dan DMA di Indonesia.
Banyak dari perusahaan lokal yang menyesuaikan diri dengan standar internasional harus melakukan investasi besar. Mulai dari memperkuat sistem keamanan data hingga mengadakan pelatihan dan membangun infrastruktur yang memadai.
Penelitian Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) tahun 2023 mencatat bahwa, banyak pelaku bisnis digital di tanah air ini menganggap kepatuhan terhadap regulasi global ini sebagai beban biaya tambahan yang lumayan berat.
Bagi perusahaan besar yang sudah beroperasi secara internasional, kepatuhan terhadap regulasi ini memang menjadi satu kewajiban. Akan tetapi, pemenuhan persyaratan ini dapat menjadi suatu tantangan yang mempengaruhi daya saing mereka bagi usaha kecil dan menengah (UKM).
Hal ini tentunya dapat memperburuk ketimpangan antara pemain besar dan kecil di pasar digital Indonesia, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pertumbuhan dari ekonomi digital di tanah air.
Sebagai contoh nyata penerapan dari regulasi perlindungan data di Indonesia, UU Perlindungan data Pribadi (PDP) yang di undangkan di tahun 2022 merupakan satu langkah awal untuk menanggapi tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam menerapkan standar global seperti GDPR.
Namun, implementasi UU PDP sendiri belum sepenuhnya lancar. Salah satu kasus yang paling menonjol adalah bocornya data pribadi dari salah satu pelanggan e-commerce terbesar di Indonesia pada tahun 2023.
Bocornya data ini mengungkapkan kelemahan yang signifikan dalam sistem perlindungan data yang digunakan oleh beberapa perusahaan di Indonesia. Dalam kasus ini, ribuan data pribadi pelanggan, termasuk dari nama, alamat, dan informasi transaksi terungkap terhadap pihak yang tidak berwenang.
Kasus ini menunjukkan meskipun ada regulasi, implementasi teknis dan pengawasan masih perlu banyak perbaikan. Oleh karena itu, dalam konteks GDPR dan DMA, Indonesia harus melakukan perbaikan yang lanjut dalam penegakan hukum dan juga pengawasan industri, agar standar global tersebut bisa di terapkan secara efektif.
Selain itu kasus ini memperlihatkan dampak negatif bagi kepercayaan konsumen terhadap platform e-commerce, yang dimana merupakan sektor utama dalam ekonomi digital Indonesia. Masyarakat pun mulai lebih waspada terhadap penggunaan layanan digital dan mulai mempertanyakan apakah data pribadi mereka benar-benar terlindungi dengan baik.
Dalam mengimplementasikan regulasi global seperti GDPR dan DMA, Indonesia dihadapkan dengan berbagai tantangan yang kompleks, dimulai dari ketidaksesuaian hukum, infrastruktur yang kurang memadai, hingga kesulitan ekonomi bagi sektor-sektor tertentu.
Namun, dengan kemajuan yang dicapai dalam UU PDP dan upaya pemerintah dalam memperbaiki literasi digital, ada harapan bahwa Indonesia dapat mengadopsi regulasi ini dengan cara yang sesuai dengan kondisi lokal.
Kedepannya Indonesia sangat perlu fokus pada penyempurnaan regulasi nasional, peningkatan infrastruktur digital, serta kolaborasi antara pemerintah dan juga sektor swasta untuk memastikan keberhasilan dari implementasi regulasi global tersebut.
Rekomendasi utama adalah untuk membuat model regulasi yang hybrid, yang menggabungkan prinsip GDPR dan DMA dengan penyesuaian terhadap realitas Indonesia, sehingga tetap dapat memberikan perlindungan kepada konsumen tanpa memberatkan bisnis lokal.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.
Terima kasih telah membaca sampai di sini
Bagaimana Indonesia Menghadapi Hambatan Implementasi GDPR dan DAM di Tengah Dinamika Lokal? – Good News From Indonesia
