NASIONAL
"Impunity inilah yang membuat membangun norma baru itu. Seolah-olah memukul demonstran tidak salah, memukul wartawan dalam suatu demonstrasi tidak salah, bahkan menyiksa mereka tidak lagi salah,"
AUTHOR / Siska Mutakin, Resky Novianto
–
EDITOR / Resky Novianto
KBR, Jakarta- Amnesty International Indonesia menyebut dunia tengah mengalami proses "otokratis", dimana praktik-praktik otoritarianisme makin menguat, termasuk Indonesia.
Otokratisasi merupakan proses perubahan sistem politik yang semula semokrasi perlahan bergerak menuju otokrasi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mencatat setidaknya lima fenomena global yang menjadi indikator menguatnya praktik otoriter.
"Dan itu pula yang berlangsung selama 30 tahun diusahakan oleh berbagai gerakan hak asasi manusia. Agar ada kebebasan di ruang warga, agar ada kebebasan di dalam sistem politik, parlemen dan juga agar ada pemilu yang berintegritas," katanya dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan HAM Amnesty International dikutip dari youtube Amnesty International Indonesia Jumat (2/5/2025).
Pertama, serangan terhadap supremasi hukum dan norma hukum internasional, yang terlihat dalam konflik seperti Gaza dan Ukraina. Kedua, pembatasan kebebasan berekspresi serta kriminalisasi terhadap pandangan yang berbeda. Ketiga, penyalahgunaan teknologi digital, termasuk pengawasan tanpa dasar hukum.
Keempat, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, baik berdasarkan suku, agama, maupun ras. Kelima, pengabaian terhadap komitmen global dalam Kesepakatan Paris untuk mengatasi krisis iklim.
Usman menyoroti dan mencontohkan kasus pelanggaran norma hukum humaniter misalnya Papua sebagai cerminan dari rusaknya supremasi hukum di Indonesia.
Menurutnya, aparat kerap menggunakan kekerasan secara berlebihan dalam merespons ekspresi warga.
"Impunity inilah yang membuat membangun norma baru itu. Seolah-olah memukul demonstran tidak salah, memukul wartawan dalam suatu demonstrasi tidak salah, bahkan menyiksa mereka tidak lagi salah. Itu adalah normalisasi apa yang sebenarnya tidak normal dalam sebuah kerangka norma itu," katanya.
Singgung soal Putusan MK
Usman juga menyinggung perubahan aturan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, dalam pemilu 2024. Menurut Usman, perubahan ini dilakukan saat pemilu telah berjalan, sehingga menuai kritik dari Komite HAM PBB.
"Untuk pertama kalinya pemilu Indonesia dikritik oleh Komite Hak Asasi Manusia. Komite yang sangat kredibel, terdiri dari para ahli dan berada di bawah perserikatan bangsa-bangsa," ujarnya.
Ancaman Kebebasan Berekspresi dan Serangan terhadap Pembela HAM
Usman menyebut fenomena serangan terhadap kebebasan berekspresi ini mencapai level yang mengkhawatirkan. Ia mencatat setidaknya 13 pelanggaran serius terhadap kebebasan berekspresi sepanjang tahun 2024.
"Artinya setiap satu bulan selalu ada 15 orang menjadi korban termasuk dengan undang-undang ITE yang paling menonjol mungkin kasus Septya Dwi pPertiwi yang mengkritik tempatnya bekerja lalu mengalami kriminalisasi," katanya.
Usman juga mengungkap adanya 123 kasus serangan terhadap pembela HAM, termasuk penganiayaan, peretasan digital, dan pengusiran paksa. Di Papua, kantor media Jubi diserang dan kendaraan operasional mereka dibakar, namun penegakan hukum berjalan tumpul.
Ia juga mengungkap penggunaan spyware oleh aparat keamanan di Indonesia, termasuk oleh kepolisian dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Berdasarkan laporan, alat sadap dibeli dari Israel, Yunani, Singapura, dan Malaysia. Namun, pemerintah menolak memberikan informasi terkait pembelian dan penggunaannya.
"Alat-alat sadap itu sangat berbahaya untuk kebebasan berekspresi, untuk kebebasan pers, untuk privasi warga, karena itu harus ada transparansi," ujarnya.
Fenomena terakhir adalah kebijakan ekonomi dan pembangunan yang tidak memperhatikan hak asasi manusia. Usman menyoroti berbagai proyek strategis nasional yang dilakukan tanpa proses partisipasi dan persetujuan masyarakat terdampak. Ia menyebut salah satunya adalah proyek rempang Eco City yang berdampak pada masyarakat adat Melayu, serta proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang menggusur komunitas adat Balk di Kalimantan.
"Karena itu, pemerintah harusnya segera mengesahkan undang-undang perlindungan masyarakat adat agar masyarakat adat tidak semakin tergusur, tersingkir dari tanah leluhur mereka, tanah nenek moyang mereka. Jadi ibarat membangun rumah fisik penghuni awalnya justru diinjak-injak, penghuni awalnya tidak diajak untuk bicara," tegasnya.
Baca juga:
– Daya Hidup Septia Berjuang Lepas dari Jerat UU ITE
– LP3ES: Kemerosotan Demokrasi Sejalan dengan Pelanggengan Praktik Politik Dinasti
Apa Tanggapan Komnas HAM?
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Putu Elvina menyampaikan apresiasi atas laporan tahunan Amnesty International yang memotret kondisi hak asasi manusia secara global, termasuk situasi di Asia Pasifik dan Indonesia.
Ia menyoroti dan mencontohkan gejala impunitas serius terhadap konflik di Papua yang masih berlarut larut.
"Kita tahu kita pernah punya konflik yang sama di Aceh tapi itu selesai dengan baik. Sekarang PR kita adalah Papua," katanya dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan HAM Amnesty International dikutip dari youtube Amnesty International Indonesia Jumat (2/5/2025).
Putu menyebut telah membentuk tim khusus Papua untuk memantau dan mencari solusi atas kekerasan serta pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah tersebut. Ia menyatakan bahwa kekerasan bersenjata, baku tembak, serta impunitas atas pelanggaran HAM masih sering terjadi di Papua tanpa penyelesaian konkret.
"Kita tidak kemudian membahas terkait aspek sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Memastikan dan mendorong pemerintah agar proses-proses hukum itu dijalankan terkait bagaimana kekerasan terhadap masyarakat sipil itu menjadi prioritas," katanya.
Putu juga menyoroti banyaknya kasus yang mengatasnamakan operasi terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau kelompok bersenjata, justru masyarakat sipil yang menjadi korban.
“Kabupaten Yahukimo pada tahun 2025 menjadi salah satu lokasi dengan tingkat pelanggaran HAM tertinggi akibat kontak senjata,” ungkapnya.
Maka dari itu, Putu mendorong penegakan hukum atas pembunuhan masyarakat sipil yang menjadi sasaran kekerasan sasaran tembak, baik yang dilakukan oleh aparat kepolisian maupun TNI.
“Tanpa adanya penegakan hukum maka menunjukan terjadinya impunitas atas alasan apapun terkait peristiwa kekerasan di Papua,” tuturnya.
Putu juga mendorong terkait bagaimana mencari penyelesaian terhadap konflik Papua. Selain itu, menyoroti ancaman terhadap hak asasi manusia dalam bentuk baru, yakni melalui teknologi pengawasan ilegal seperti spyware.
Putu mempertanyakan belum adanya undang-undang yang secara spesifik mengatur penyadapan ilegal. Menurutnya, ini dianggap merugikan aktivis, jurnalis, dan akademisi yang tengah menyuarakan kritik. Namun, keputusan MK terkait UU ITE menjadi angin segar karena memberikan ruang lebih luas bagi kritik terhadap pemerintah dan korporasi, terutama dalam proyek strategis nasional (PSN).
“Krisis ruang sipil dan ketidakadilan struktural juga menjadi perhatian utama Komnas HAM,” jelasnya.
Komnas HAM, kata dia, telah merumuskan norma kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul dalam program seperti Festival HAM 2024. Festival ini mengangkat tema penyempitan ruang sipil dan mendorong dialog antara masyarakat dengan pemerintah daerah.
"Penyempitan ruang sipil tersebut itu bagian upaya untuk membungkam kritis masyarakat, kritis jurnalis, kritis apa namanya NGO misalnya untuk memastikan Indonesia itu lebih baik sebenarnya. Maka kritis-kritis tersebut kalau kemudian dibatasi dengan alasan apapun itu kelihatannya pemerintah semakin baper,"
Putu menegaskan negara demokrasi seperti Indonesia harus memberikan ruang seluas-luasnya bagi elemen-elemen demokrasi, kecuali jika itu membahayakan publik. Lembaga ini juga memiliki Tim Pembelaan yang menyusun amicus curiae atau pendapat hukum dalam kasus-kasus kriminalisasi terhadap warga.
"Tidak cukup Komnas HAM, tidak cukup Amnesty dan masyarakat sipil, tapi ini semua harus bergerak untuk kebaikan yang lebih baik yang kita harapkan. Artinya apa yang terjadi di Amerika tidak seharusnya terjadi di Indonesia. Kita boleh memilih untuk menentukan arah dari pemerintahan kita menjadi lebih baik," tegasnya.
Baca juga:
– Fenomena "Dinasti Kekeluargaan" dalam Kepengurusan Partai, Kemunduran Demokrasi?
– Mengapa Revisi UU TNI Mengancam Demokrasi?
Fenomena Otokratisasi Global
Akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Diah Kusumaningrum menyebut fenomena otokratisasi secara global yang terjadi saat ini memasuki gelombang ketiga.
Ia menjelaskan otokratisasi yang sedang berlangsung bukan sembarang otokratisasi, melainkan terdiri dari dua aspek penting, percepatan proses dan merupakan bagian dari gelombang ketiga. Otokratisasi ini telah berlangsung selama 10–15 tahun, terlihat dari skor Indonesia di Freedom House yang menurun sejak 2014 dari status "free" menjadi "partly free".
"Cuman memang itu baru kerasa banget gitu nyekik banget dan segala macam di lima tahun terakhir jadi ada percepatan dalam proses otokratisasi ini yang pertama, kedua ini otokratisasi gelombang ketiga yang berbeda dari gelombang pertama dan kedua. Bahayanya ngomong gelombang itu kita menormalisasi," katanya dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan HAM Amnesty International dikutip dari youtube Amnesty International Indonesia Jumat (2/5/2025).
Diah mengatakan, bahwa semua pihak tidak boleh menganggap proses ini sebagai siklus biasa antara demokrasi dan otoritarianisme. Pada gelombang ketiga ini, kata dia, otokrat tidak secara langsung menutup jalur demokrasi, melainkan memanfaatkannya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.
Diah menjelaskan autokratisasi gelombang pertama dialami oleh negara-negara yang baru merdeka yang kedaulatannya direbut melalui kudeta militer. Sementara, gelombang kedua ditandai dengan pecahnya sejumlah blok timur seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
"Yang ketiga ini beda gitu ya ini justru aktor-aktor otokratisasi itu naik kekuasaan pakai metode-metode pakai prosedur-prosedur demokrasi," tambahnya.
Indonesia Alami Percepatan Otokratisasi?
Diah menyoroti bagaimana otokratisasi saat ini didorong oleh proses "authoritarian learning", di mana para otokrat saling belajar satu sama lain. Mereka lebih cepat dan efektif dibandingkan para pendukung demokrasi dan HAM dalam berbagi strategi.
Diah menjelaskan terdapat tiga mekanisme utama dalam proses ini, pertama, penyangkalan atau denial bahwa demokrasi masih berjalan baik, padahal sejak 2014 skor demokrasi Indonesia telah menurun. Kedua, dimana perlawanan masyarakat sipil di berbagai daerah tidak menghasilkan empati luas karena telah disterilkan oleh media dan sosial media. Ketiga, dimana kekerasan ekstrem, termasuk genosida yang disiarkan langsung, tidak lagi memicu respons moral yang kuat.
Menurutnya, para ilmuwan politik sempat keliru dalam memperkirakan negara mana yang mampu menahan laju otokratisasi.
Diah menyebut negara-negara seperti Serbia dan Korea Selatan yang memiliki ingatan kolektif tentang kekerasan masa lalu serta telah membudayakan protes yang menjadi respon otomatis terhadap ancaman otoritarianisme.
"Amerika Serikat tidak pernah punya memori baru gitu soal mereka ada di bawah diktator jadi sekarang bingung mesti ngapain tapi Serbia, Korea Selatan mereka masih punya memori itu," katanya.
Terakhir, Diah menekankan pentingnya menghapus budaya impunitas pasca keberhasilan melawan otokratisasi, yang menurutnya menjadi kelemahan dalam reformasi Indonesia.
Ia mengajak semua pihak untuk belajar dari sejarah, baik dari Filipina maupun Rusia, dan menyatakan bahwa ia tetap memiliki harapan.
"Saya merasa punya harapan mari kita belajar sejarah mau nyontek Filipina atau mau nyontek Rusia," pintanya.
Baca juga:
– Soroti Substansi Pasal di RUU TNI, Pakar Hukum: Mengerikan
– Pelantikan Kepala Daerah, PR Besar Wujudkan Pemerintahan Tanpa Korupsi
Pelibatan Sipil Minim dalam Kebijakan Keamanan Nasional?
Wakil Ketua Komisi XIII, Sugiat Santoso menegaskan bahwa masyarakat sipil memiliki ruang untuk terlibat dalam proses penyusunan undang-undang. Hal ini merespons keterlibatan masyarakat dalam pembentukan regulasi, termasuk dalam pembahasan Undang-Undang TNI.
Namun, ia juga mengakui secara teknis, keterlibatan tersebut belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara maksimal karena keterbatasan waktu dan anggaran.
Politikus Partai Gerindra itu menegaskan kembali dalam penyusunan UU TNI terbaru, tidak ada indikasi ataupun peluang kembalinya dwifungsi TNI seperti yang pernah terjadi pada era Orde Baru.
"Saya pikir di jaman sekarang enggak akan mungkin lagi karena ada undang-undang Pilkada begitu juga malah kalau kita lihat di undang-undang TNI itu dengan batasan hanya 14 kementerian dan lembaga itu makin mengokohkan bahwa enggak akan kembali lagi dwifungsi ABRI di Undang-Undang TNI itu," katanya dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan HAM Amnesty International dikutip dari youtube Amnesty International Indonesia Jumat (02/05/2025).
Sugiat menyebutkan bahwa kementerian dan lembaga yang dimaksud, seperti Basarnas, Bakamla, dan BNPT, memang berkaitan dengan tugas TNI dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara, berbeda dengan civil society yang dapat terlibat di berbagai kementerian lain.
Apresiasi Kebijakan Pemerintah dan Komitmen HAM di DPR
Selain itu, Sugiat juga memberikan apresiasi terhadap rencana kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang berencana memberikan amnesti massal kepada 44 ribu warga binaan di Lapas dan Rutan. Pendekatan yang diambil adalah kemanusiaan dan demokratisasi, termasuk bagi mereka yang terlibat kasus Undang-Undang ITE atau mengalami pelanggaran HAM.
"Terverifikasi 19 ribu warga binaan yang itu adalah kasus-kasus ITE sudah pasti kan. Karena itu pendekatannya adalah demokratisasi, kasus-kasus hak asasi manusia dan pendekatan kemanusiaan," jelasnya.
Menanggapi soal penyadapan, Sugiat menyoroti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga sipil dengan kekuatan penyadapan paling besar. Namun demikian, ia membuka ruang untuk evaluasi terhadap penggunaan alat penyadapan oleh institusi lain seperti kepolisian, khususnya dalam konteks pembentukan satuan pemberantasan korupsi baru.
Selain itu, Sugiat menanggapi isu pelanggaran HAM. Komnas HAM melaporkan adanya lebih dari 3.000 aduan dari berbagai daerah yang menyebutkan TNI, Polri, Pemerintah pusat, dan daerah sebagai pihak terlapor.
DPR, kata dia, membuka peluang kerja sama lebih luas dengan masyarakat sipil dan Lembaga HAM seperti Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk menindaklanjuti aduan-aduan tersebut.
"Jangan selalu dituduh DPR RI ini tidak Pro HAM atau tidak pro rakyat ya, yang di DPR RI kan banyak juga yang terbelakangnya adalah aktivis itulah fungsi kami kan pengaduan-pengaduan itu misalnya yang pelanggaran berat yang tertuduhnya adalah TNI Polri kita bisa sampaikan dengan di DPR," tegasnya.
Maka dari itu, Sugiat menyebutkan kepada semua pihak agar masyarakat tidak merasa sendiri Ketika menghadapi persoalan-persoalan besar, khususnya yang berkaitan dengan HAM dan keadilan sosial.
Indeks HAM Indonesia tahun 2024 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2023, dengan skor rata-rata 3,1. Ini menunjukkan penurunan 0,1 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan ini juga terjadi dibandingkan dengan periode pertama pemerintahan Jokowi, yang memiliki skor 3,2 pada Indeks HAM 2019.
Lalu, mengacu laporan The Economist Intelligence Unit 2025, indeks demokrasi Indonesia 2024 kembali menurun dibandingkan 2023 atau masih dalam kategori demokrasi cacat. Pada 2023, skor Indonesia 6,53 atau berada di peringkat ke-56 kemudian turun tiga peringkat pada 2024 dengan skor 6,44 dari skala tertinggi 10.
Skor itu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-59 dari total 167 negara yang diukur indeksnya. Dari lima dimensi yang diukur, skor terendah ada pada ranah kultur politik dan kebebasan sipil.
Baca juga:
– Aliansi Jaga Demokrasi dan BEM DIY Unjuk Rasa Tuntut 'Adili Jokowi'
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!
NASIONAL
Indonesia dalam Cengkeraman Otokratisasi?
NASIONAL
Bulog Serap Gabah Segala Kualitas, Harga Sama Meski Beda
NASIONAL
Dinanti, Evaluasi MBG Berbasis Bukti