Rupiah Terancam Tertekan, BI Siaga Hadapi Lonjakan Permintaan Dollar – Kompas.id

Permintaan dollar AS pada Mei-Juni cenderung meningkat seiring repatriasi dividen dan pembayaran utang luar negeri yang berisiko kembali menekan nilai tukar rupiah.
Rupiah Terancam Tertekan, BI Siaga Hadapi Lonjakan Permintaan Dollar
Ekonomi
Oleh Agustinus Yoga Primantoro
08 Mei 2025 07:00 WIB · Ekonomi
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah ketidakpastian, nilai tukar rupiah berisiko kembali tertekan dalam dua bulan ke depan, antara lain, akibat lonjakan permintaan dollar AS seiring kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran utang luar negeri.
Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) berkomitmen untuk menjaga kurs rupiah tetap stabil sesuai dengan nilai fundamentalnya. Upaya tersebut dilakukan, antara lain, melalui intervensi valuta asing (valas) di pasar spot, pasar derivatif domestik (DNDF) dan luar negeri (NDF), serta pembelian surat berharga negara (SBN).
Demikian pokok-pokok yang disampaikan oleh Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI Erwin Gunawan Hutapea dalam taklimat media bertajuk ”Asesmen Perekonomian Terkini dan Efektivitas Kebijakan Moneter Pro-market untuk Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah”, di Jakarta, Selasa (7/5/2025).
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah pada perdagangan Selasa (7/5/2025) ditutup Rp 16.533 per dollar AS. Meski melemah 0,37 persen dibanding hari sebelumnya, rupiah telah berbalik menguat setelah sebulan terakhir tertekan hingga mencapai titik tertingginya di level Rp 16.943 per dollar AS.
Erwin mengatakan, nilai tukar rupiah mulai menunjukkan tren positif dengan penguatan hingga ke bawah level Rp 16.500 per dollar AS. Kendati demikian, penguatan itu tertahan atau cenderung sulit menembus level Rp 16.400 per dollar AS.
”Kami akan tetap selalu berada di pasar untuk menjaga agar confidence pelaku pasar karena pada Mei 2025 ini kita masih menghadapi adanya proses repatriasi dividen, yang mulai terjadi April dan puncaknya pada Mei, kemudian pada Juni nanti kita akan menghadapi juga siklus pembayaran utang luar negeri,” katanya.
Berkaca dari pengalaman tahun lalu, nilai tukar rupiah selama periode Mei-Juni cenderung melemah. Adapun rerata rupiah selama Mei 2024 berada di level Rp 16.082,56 per dollar AS atau melemah 0,8 persen dibanding April 2024 yang sebesar Rp 15.953,67 per dollar AS.
Tren tersebut pun berlanjut dengan tingkat depresiasi yang lebih dalam. Selama Juni 2024, rata-rata rupiah berada di level Rp 16.337,33 per dollar AS atau melemah 1,58 persen dibanding rerata pada Mei 2024.
Di sisi lain, posisi utang luar negeri Indonesia pada Februari 2025 tercatat 427,16 miliar dollar AS, terdiri dari utang pemerintah 232,34 miliar dollar AS dan utang swasta 194,81 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, utang luar negeri Indonesia meningkat 4,81 persen dalam lima tahun terakhir.
Erwin menambahkan, BI akan memastikan likuiditas valas di pasar keuangan tetap terjaga di tengah lonjakan kebutuhan investor. Hal ini terutama menghadapi lonjakan kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran utang luar negeri.
BI juga turut menjaga likuiditas valas di pasar keuangan, antara lain, dengan membeli SBN di pasar primer dan sekunder.
”Bank Indonesia akan selalu berada di pasar untuk memastikan agar nilai tukar terjaga sesuai dengan nilai fundamentalnya. Kami akan melakukan intervensi terhadap pergerakan yang berlebihan, memastikan ketersediaan likuiditas di FX market (pasar valas) sesuai dengan kebutuhan pihak-pihak yang memerlukan pembelian,” ujarnya.
Langkah intervensi itu ditempuh BI, baik di pasar spot maupun pasar derivatif domestik (DNDF) dan luar negeri (NDF) alias offshore. Selain itu, BI juga turut menjaga likuiditas valas di pasar keuangan, antara lain, dengan membeli SBN di pasar primer dan sekunder.
Menurut Erwin, situasi global terkini masih diselimuti oleh ketidakpastian yang dipicu oleh kejelasan pengenaan tarif bea masuk impor oleh Presiden AS Donald Trump dan konflik geopolitik. Akibatnya, perekonomian global pada 2025 diproyeksikan tumbuh melambat.
Dalam menghadapi kondisi tersebut, para pelaku pasar cenderung menempatkan investasinya ke aset-aset yang relatif aman dan likuid (safe haven). Kondisi tersebut pada gilirannya dapat memicu aliran modal asing keluar dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Berkaca dari awal tahun, investasi portofolio asing di pasar keuangan domestik mencatatkan arus keluar hingga puncaknya pada April 2025. Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi hingga di bawah level 6.000 dan nilai tukar rupiah pun sempat terdepresiasi ke kisaran Rp 17.000 per dollar AS.
Meski secara tahun kalender masih mencatatkan arus keluar, kini modal asing mulai kembali masuk ke pasar keuangan domestik. Berdasarkan data transaksi 28-30 April 2025, arus modal portofolio asing secara agregat mencatatkan beli neto Rp 4,15 triliun, terutama di pasar Surat Berharga Negara (SBN) Rp 0,22 triliun dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) Rp 3,95 triliun.
Senada, Direktur Utama PT Doo Financial Futures Ariston Tjendra berpendapat, ketidakpastian juga datang dari konflik-konflik bersenjata yang masih belum selesai di beberapa wilayah secara global. Salah satu yang terbaru konflik antara India dan Pakistan. Jika kondisi tersebut meluas, akan berisiko mengganggu perekonomian global.
”Dan, saat ini, faktor eksternal sangat mendominasi pergerakan dollar AS terhadap rupiah yang menciptakan kekhawatiran pasar dan ketidakpastian, terutama soal kebijakan tarif AS. Pasar masih memandang negatif kebijakan tarif ini yang bisa memicu pelambatan ekonomi global dan bisa merembet ke Indonesia,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Selain itu, tekanan rupiah juga berasal dari repatriasi dividen sebagai kebutuhan rutin tahunan yang akan meningkatkan permintaan dollar AS di dalam negeri. Artinya, tren tersebut cenderung memberikan tekanan kepada nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Dalam sebulan ke depan, nilai tukar rupiah diproyeksikan bergerak stabil dalam kisaran Rp 16.400-Rp 16.700 per dollar AS dengan kecenderungan penguatan terbatas.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman menambahkan, pergerakan nilai tukar utamanya akan dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti kondisi moneter global, kebijakan fiskal dalam negeri, dan persepsi pasar terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia.
”Dalam sebulan ke depan, nilai tukar rupiah diproyeksikan bergerak stabil dalam kisaran Rp 16.400-Rp 16.700 per dollar AS dengan kecenderungan penguatan terbatas. Stabilitas ini ditopang oleh intervensi aktif Bank Indonesia di pasar valas dan kebijakan suku bunga yang dipertahankan pada level 5,75 persen,” ujarnya saat dihubungi.
Kendati demikian, rupiah juga berisiko tertekan akibat faktor eksternal. Risiko tersebut, antara lain, berasal dari potensi kenaikan tarif perdagangan AS dan suku bunga tinggi bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed). yang cenderung masih akan menarik arus modal keluar dari negara berkembang.
Sementara itu, dari sisi domestik, kekhawatiran pasar terhadap keberlanjutan fiskal, terutama terkait program-program populis, seperti makan siang gratis, juga akan membebani persepsi terhadap fundamental rupiah.
Menurut Rizal, BI sejauh ini telah menunjukkan komitmen kuat menjaga stabilitas rupiah melalui bauran kebijakan moneter dan makroprudensial. Namun, efektivitasnya tetap bergantung pada kestabilan ekspektasi pelaku pasar.
”Untuk itu, koordinasi kebijakan antara pemerintah dan BI menjadi krusial, terutama membangun kembali kepercayaan investor terhadap konsistensi arah kebijakan ekonomi nasional, termasuk melalui pengendalian defisit fiskal, transparansi belanja, dan penguatan neraca transaksi berjalan,” katanya.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah ketidakpastian, nilai tukar rupiah berisiko kembali tertekan dalam dua bulan ke depan, antara lain, akibat lonjakan permintaan dollar AS seiring kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran utang luar negeri.
Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) berkomitmen untuk menjaga kurs rupiah tetap stabil sesuai dengan nilai fundamentalnya. Upaya tersebut dilakukan, antara lain, melalui intervensi valuta asing (valas) di pasar spot, pasar derivatif domestik (DNDF) dan luar negeri (NDF), serta pembelian surat berharga negara (SBN).
Demikian pokok-pokok yang disampaikan oleh Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI Erwin Gunawan Hutapea dalam taklimat media bertajuk ”Asesmen Perekonomian Terkini dan Efektivitas Kebijakan Moneter Pro-market untuk Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah”, di Jakarta, Selasa (7/5/2025).
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah pada perdagangan Selasa (7/5/2025) ditutup Rp 16.533 per dollar AS. Meski melemah 0,37 persen dibanding hari sebelumnya, rupiah telah berbalik menguat setelah sebulan terakhir tertekan hingga mencapai titik tertingginya di level Rp 16.943 per dollar AS.
Erwin mengatakan, nilai tukar rupiah mulai menunjukkan tren positif dengan penguatan hingga ke bawah level Rp 16.500 per dollar AS. Kendati demikian, penguatan itu tertahan atau cenderung sulit menembus level Rp 16.400 per dollar AS.
”Kami akan tetap selalu berada di pasar untuk menjaga agar confidence pelaku pasar karena pada Mei 2025 ini kita masih menghadapi adanya proses repatriasi dividen, yang mulai terjadi April dan puncaknya pada Mei, kemudian pada Juni nanti kita akan menghadapi juga siklus pembayaran utang luar negeri,” katanya.
Berkaca dari pengalaman tahun lalu, nilai tukar rupiah selama periode Mei-Juni cenderung melemah. Adapun rerata rupiah selama Mei 2024 berada di level Rp 16.082,56 per dollar AS atau melemah 0,8 persen dibanding April 2024 yang sebesar Rp 15.953,67 per dollar AS.
Tren tersebut pun berlanjut dengan tingkat depresiasi yang lebih dalam. Selama Juni 2024, rata-rata rupiah berada di level Rp 16.337,33 per dollar AS atau melemah 1,58 persen dibanding rerata pada Mei 2024.
Di sisi lain, posisi utang luar negeri Indonesia pada Februari 2025 tercatat 427,16 miliar dollar AS, terdiri dari utang pemerintah 232,34 miliar dollar AS dan utang swasta 194,81 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, utang luar negeri Indonesia meningkat 4,81 persen dalam lima tahun terakhir.
Erwin menambahkan, BI akan memastikan likuiditas valas di pasar keuangan tetap terjaga di tengah lonjakan kebutuhan investor. Hal ini terutama menghadapi lonjakan kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran utang luar negeri.
BI juga turut menjaga likuiditas valas di pasar keuangan, antara lain, dengan membeli SBN di pasar primer dan sekunder.
”Bank Indonesia akan selalu berada di pasar untuk memastikan agar nilai tukar terjaga sesuai dengan nilai fundamentalnya. Kami akan melakukan intervensi terhadap pergerakan yang berlebihan, memastikan ketersediaan likuiditas di FX market (pasar valas) sesuai dengan kebutuhan pihak-pihak yang memerlukan pembelian,” ujarnya.
Langkah intervensi itu ditempuh BI, baik di pasar spot maupun pasar derivatif domestik (DNDF) dan luar negeri (NDF) alias offshore. Selain itu, BI juga turut menjaga likuiditas valas di pasar keuangan, antara lain, dengan membeli SBN di pasar primer dan sekunder.
Menurut Erwin, situasi global terkini masih diselimuti oleh ketidakpastian yang dipicu oleh kejelasan pengenaan tarif bea masuk impor oleh Presiden AS Donald Trump dan konflik geopolitik. Akibatnya, perekonomian global pada 2025 diproyeksikan tumbuh melambat.
Dalam menghadapi kondisi tersebut, para pelaku pasar cenderung menempatkan investasinya ke aset-aset yang relatif aman dan likuid (safe haven). Kondisi tersebut pada gilirannya dapat memicu aliran modal asing keluar dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Berkaca dari awal tahun, investasi portofolio asing di pasar keuangan domestik mencatatkan arus keluar hingga puncaknya pada April 2025. Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi hingga di bawah level 6.000 dan nilai tukar rupiah pun sempat terdepresiasi ke kisaran Rp 17.000 per dollar AS.
Meski secara tahun kalender masih mencatatkan arus keluar, kini modal asing mulai kembali masuk ke pasar keuangan domestik. Berdasarkan data transaksi 28-30 April 2025, arus modal portofolio asing secara agregat mencatatkan beli neto Rp 4,15 triliun, terutama di pasar Surat Berharga Negara (SBN) Rp 0,22 triliun dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) Rp 3,95 triliun.
Senada, Direktur Utama PT Doo Financial Futures Ariston Tjendra berpendapat, ketidakpastian juga datang dari konflik-konflik bersenjata yang masih belum selesai di beberapa wilayah secara global. Salah satu yang terbaru konflik antara India dan Pakistan. Jika kondisi tersebut meluas, akan berisiko mengganggu perekonomian global.
”Dan, saat ini, faktor eksternal sangat mendominasi pergerakan dollar AS terhadap rupiah yang menciptakan kekhawatiran pasar dan ketidakpastian, terutama soal kebijakan tarif AS. Pasar masih memandang negatif kebijakan tarif ini yang bisa memicu pelambatan ekonomi global dan bisa merembet ke Indonesia,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Selain itu, tekanan rupiah juga berasal dari repatriasi dividen sebagai kebutuhan rutin tahunan yang akan meningkatkan permintaan dollar AS di dalam negeri. Artinya, tren tersebut cenderung memberikan tekanan kepada nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Dalam sebulan ke depan, nilai tukar rupiah diproyeksikan bergerak stabil dalam kisaran Rp 16.400-Rp 16.700 per dollar AS dengan kecenderungan penguatan terbatas.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman menambahkan, pergerakan nilai tukar utamanya akan dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti kondisi moneter global, kebijakan fiskal dalam negeri, dan persepsi pasar terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia.
”Dalam sebulan ke depan, nilai tukar rupiah diproyeksikan bergerak stabil dalam kisaran Rp 16.400-Rp 16.700 per dollar AS dengan kecenderungan penguatan terbatas. Stabilitas ini ditopang oleh intervensi aktif Bank Indonesia di pasar valas dan kebijakan suku bunga yang dipertahankan pada level 5,75 persen,” ujarnya saat dihubungi.
Kendati demikian, rupiah juga berisiko tertekan akibat faktor eksternal. Risiko tersebut, antara lain, berasal dari potensi kenaikan tarif perdagangan AS dan suku bunga tinggi bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed). yang cenderung masih akan menarik arus modal keluar dari negara berkembang.
Sementara itu, dari sisi domestik, kekhawatiran pasar terhadap keberlanjutan fiskal, terutama terkait program-program populis, seperti makan siang gratis, juga akan membebani persepsi terhadap fundamental rupiah.
Menurut Rizal, BI sejauh ini telah menunjukkan komitmen kuat menjaga stabilitas rupiah melalui bauran kebijakan moneter dan makroprudensial. Namun, efektivitasnya tetap bergantung pada kestabilan ekspektasi pelaku pasar.
”Untuk itu, koordinasi kebijakan antara pemerintah dan BI menjadi krusial, terutama membangun kembali kepercayaan investor terhadap konsistensi arah kebijakan ekonomi nasional, termasuk melalui pengendalian defisit fiskal, transparansi belanja, dan penguatan neraca transaksi berjalan,” katanya.

source

Leave a Reply

This will close in 0 seconds