Wacana pemakzulan kembali mengemuka seiring tuntutan purnawirawan TNI-Polri yang mendorong pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Meski secara hukum memungkinkan, secara praktik langkah pemakzulan nyaris mustahil tanpa dukungan mayoritas di parlemen.
KOMPAS/JB SURATNO
Pemakzulan
Jejak “Pemakzulan” Presiden Republik Indonesia
*Berdasarkan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Sumber: Litbang Kompas/IGP, diolah dari pemberitaan Kompas dan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Delapan tuntutan Forum Purnawirawan TNI-Polri kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada pertengahan April 2025 menjadi perbincangan publik. Salah satu tuntutan yang ramai menarik perhatian adalah tuntutan memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Istilah pemakzulan bukanlah sesuatu yang asing dalam tata negara Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “makzul” berarti turun dari jabatan atau takhta. Dalam konteks konstitusi, istilah ini merujuk pada pemberhentian presiden atau wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar 1945.
Forum Purnawirawan TNI-Polri berpendapat keterpilihan Gibran sebagai buah dari konsensus politik yang dipaksakan, serta menilai bahwa proses pencalonannya bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan elektoral. Berdasarkan alasan inilah usulan pemakzulan Gibran bergulir.
Forum Purnawirawan TNI-Polri menyampaikan bahwa keterpilihan Gibran sebagai Wakil Presiden diduga merupakan hasil dari konsensus politik yang dipaksakan. Mereka menilai proses pencalonannya tidak selaras dengan prinsip demokrasi dan keadilan elektoral, sehingga layak untuk ditinjau ulang bahkan dilakukan pemakzulan.
Sejumlah nama purnawirawan yang turut menandatangani pernyataan sikap meliputi, Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, dan Wakil Presiden ke-6 RI Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno. Tokoh-tokoh senior ini secara utuh terdiri dari 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.
Selain isu pemakzulan Gibran, tujuh tuntutan lainnya juga disampaikan oleh forum ini. Mereka meminta agar tata hukum dan pemerintahan dikembalikan sesuai amanat UUD 1945, mendukung program Kabinet Merah Putih kecuali pembangunan Ibu Kota Nusantara, serta menghentikan sejumlah proyek strategis nasional yang dinilai kurang memberi manfaat bagi rakyat secara langsung.
Presiden Prabowo menanggapi tuntutan ini secara bijak dan berencana mengadakan pertemuan dengan Forum Purnawirawan TNI secara resmi. Penasihat Khusus presiden Urusan Pertahanan Nasional Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman mengatakan, presiden Prabowo tidak masalah dengan usulan tersebut dan akan membuka komunikasi. Dudung menyebutkan bila sebenarnya ada forum purnawirawan resmi seperti Pepabri dan PPAD, sehingga tidak bisa asal mengatasnamakan forum purnawirawan (5/5/2025).
Artikel terkait
Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar lahir dalam situasi politik Indonesia pasca G30S 1965…
Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang digaungkan oleh Forum Purnawirawan TNI-Polri memicu kembali diskusi luas di tengah masyarakat, tak terkecuali di kalangan pakar hukum tata negara. Isu ini membuka pertanyaan besar, sejauh mana legalitas dan peluang konstitusional untuk memberhentikan seorang wakil presiden di Indonesia?
Menanggapi hal tersebut, Yance Arizona, pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, menyampaikan pandangannya. Ia menilai, permintaan pemberhentian Gibran yang diajukan forum tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) belum memiliki dasar hukum yang cukup kuat.
“Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran,” ujar Yance.
Ia menegaskan, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setiap upaya pemakzulan harus didasarkan pada aturan konstitusi, bukan hanya dorongan opini publik atau tekanan politik. Sistem kita mengenal mekanisme pemakzulan untuk presiden dan wakil presiden lewat MPR, tapi itu harus memenuhi syarat hukum tertentu. Kalau hanya berdasarkan tekanan politik atau kritik publik, itu belum cukup untuk menjadi dasar pemberhentian.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan bahwa Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka secara teoretis bisa dimakzulkan sesuai dengan aturan konstitusi. Namun, dalam praktiknya, langkah itu nyaris mustahil dilakukan karena pertimbangan politik.
“Usul pemakzulan gibran itu secara teoretis ketatanegaraan bisa, tapi secara politik akan sulit,” ujar Mahfud dalam kanal YouTube Mahfud MD Official (7/5/2025).
Menurut Mahfud, untuk memakzulkan presiden atau wakil presiden, diperlukan mekanisme yang ketat. Selain harus melalui pemeriksaan Mahkamah Konstitusi (MK), usulan pemakzulan juga harus mendapat dukungan minimal dua pertiga dari total anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) baru bisa menggelar sidang untuk mengambil keputusan akhir.
Pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka saat ini didukung oleh koalisi yang menguasai mayoritas kursi di DPR. Dengan kondisi ini, upaya untuk mengumpulkan cukup banyak anggota DPR yang setuju dengan pemakzulan hampir bisa dipastikan sulit direalisasikan.
Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan, pemakzulan hanya bisa dilakukan jika seorang presiden atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Menurut Pasal 7A dan 7B UUD 1945, presiden atau wakil presiden bisa dimakzulkan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau tindak pidana lain yang parah. Selain itu, alasan lain adalah jika yang bersangkutan dianggap tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala negara atau wakilnya.
Namun, proses pemakzulan bukan semata-mata soal tuduhan. Harus ada putusan hukum dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa pelanggaran tersebut benar-benar terjadi. Setelah itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat mengajukan usul pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Aturan ini juga tertuang dalam Peraturan MPR No. 1 Tahun 2024, khususnya pada Pasal 125 dan 126. Dalam aturan itu disebutkan bahwa DPR harus lebih dulu mengajukan usul pemberhentian kepada MPR. Usul ini hanya bisa diajukan jika didukung minimal dua pertiga anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna.
Setelah itu, MK punya waktu maksimal 90 hari untuk memeriksa dan memutuskan apakah pendapat DPR itu beralasan. Jika MK memutuskan bahwa pelanggaran hukum terbukti, DPR kemudian meneruskannya ke MPR.
MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutuskan usul tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak diterima. Keputusan akhir tetap ada di tangan MPR, dengan mayoritas suara anggotanya.
Yang menarik, meskipun MK sudah menyatakan adanya pelanggaran hukum, MPR tetap bisa memilih untuk tidak memberhentikan presiden atau wakil presiden. Ini karena keputusan MPR merupakan keputusan politik, bukan yuridis.
Jadi, meski isu pemakzulan terus bergema, tanpa bukti hukum yang kuat dan dukungan politik yang solid, langkah tersebut sulit direalisasikan. Prosesnya panjang, rumit, dan sarat dinamika antara ranah hukum dan politik.
IPPHOS
Sejak reformasi 1998 hingga 2025, Indonesia belum pernah berhasil memakzulkan presiden atau wakil presiden. Meski beberapa kali muncul wacana dan tekanan politik, semua upaya selalu gagal karena ketatnya syarat konstitusi, dominasi koalisi pemerintah di DPR, serta kurangnya bukti hukum untuk memperkuat alasan pemakzulan.
Pemakzulan merupakan mekanisme konstitusional yang diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945 hasil amandemen. Proses ini baru dikenal setelah reformasi, sehingga pemberhentian Presiden Soekarno (1967), Soeharto (1998), dan Gus Dur (2001) tidak dilakukan melalui mekanisme pemakzulan seperti saat ini.
Soekarno turun takhta akibat manuver politik Orde Baru. MPRS mencabut mandat Supersemar dan jabatannya tanpa proses hukum formal. Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 akibat tekanan rakyat pasca-krisis ekonomi, tanpa melalui mekanisme lembaga negara. Sementara Gus Dur adalah satu-satunya presiden yang diberhentikan oleh MPR, tetapi prosesnya belum sepenuhnya sesuai dengan aturan pemakzulan hasil amandemen UUD 1945.
Jejak “Pemakzulan” Presiden Republik Indonesia
*Berdasarkan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Sumber: Litbang Kompas/IGP, diolah dari pemberitaan Kompas dan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Usaha pemakzulan pertama terjadi pada masa Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2008. Isu korupsi, kenaikan harga BBM, dan kritik atas kinerja ekonomi memicu desakan dari sejumlah fraksi oposisi di DPR. Namun, usulan tersebut tidak sampai ke tahap formal karena tidak didukung mayoritas anggota DPR.
Selama masa jabatannya (2014–2024), Presiden Joko Widodo juga menghadapi beberapa kali desakan pemakzulan dari kelompok oposisi. Alasannya bermacam-macam, mulai dari isu Omnibus Law Cipta Kerja hingga penolakan revisi UU KPK. Namun, semua usulan itu tidak pernah sampai ke tahap resmi karena tidak ada bukti pelanggaran berat yang terkonfirmasi oleh Mahkamah Konstitusi.
Kini, muncul wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dari sekelompok purnawirawan TNI-Polri. Namun, para ahli menilai langkah ini sulit secara konstitusional karena belum ada indikasi pelanggaran hukum berat dan masih adanya dominasi koalisi pemerintah di DPR.
Pemakzulan tetap menjadi bagian penting dari sistem checks and balances dalam demokrasi, namun implementasinya sangat bergantung pada kesepakatan politik dan kejelasan hukum. Hingga kini, Indonesia belum pernah berhasil memakzulkan presiden atau wakil presiden sesuai mekanisme konstitusi modern. (LITBANG KOMPAS)
Penulis
Inggra Parandaru
Editor
Topan Yuniarto
Artikel terkait
Gerakan mahasiswa sepanjang Orde Baru terus mengalami penekanan. Namun, dari sanalah muncul benih-benih perlawanan yang…
Organisasi mahasiswa merupakan wadah bagi mahasiswa untuk berkreasi dan menyalurkan aspirasi intelektual mereka. Namun, gerakan…
Pergerakan mahasiswa Indonesia dalam demonstrasi menjadi salah satu cara menyampaikan aspirasi dan kritikan terhadap kebijakan…
Sejumlah tokoh bersama para mahasiswa, intelektual, budayawan, dan pemimpin masyarakat sipil lainnya, berkontribusi secara signifikan…
Peristiwa Mei 1998 merupakan klimaks dari ketidakpuasan terhadap Orde Baru. Berbagai peristiwa seperti aksi penjarahan…
Pada Mei 2023 ini, peristiwa Reformasi 1998 mencapai usia seperempat abad. Sebagai sebuah gerakan menuju…
Kronologi
Pemakzulan adalah alat hukum dan politik untuk menjaga akuntabilitas pemimpin negara. Meskipun dalam beberapa kasus…
Paparan Topik
Bulan April selalu hadir dengan nuansa perubahan. Dalam sejarah dunia, bulan April dipenuhi dengan berbagai…
Paparan Topik
Disahkannya RUU TNI menjadi UU oleh DPR RI bagai membuka kotak pandora Orde Baru. Konsekuensinya,…
Paparan Topik
Keinginan militer di Indonesia untuk terus ikut campur dalam ranah sipil tidak dapat dipisahkan dari…
Wacana Pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia – Kompaspedia
